Oleh : Zani Afoh Saragih, SH, M.Hum
Kalau kita bicara konsep kemiskinan di negara kita ini berarti pembicaraan akan mengarah kepada petani. Petani adalah segmen masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam.
Tanah adalah salah satu faktor modal dan sangat dominan bagi mereka agar tetap bisa bertahan hidup. Memang luas lahan selalu tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang selalu terus bertambah. Sementara tanah tidak mungkin bertambah, yang bertambah adalah populasi penduduk. Lantas, bagaimana nasib petani kita yang bahkan banyak petani tidak punya lahan, tentu merupakan sebuah keprihatinan kita bersama sebagai negara yang kita sebut dengan negara agraris.
Saat-saat kita melihat adanya studi kepresidenan (presidential lecture) tentang bagaimana mengatasi kemiskinan tentu kita sangat prihatin nasib petani tidak ada disinggung disana. Mereka hanya bicara ekonomi makro secara saintis tanpa bisa membuat sebuah formula baru bagaimana memperbaiki nasib petani. Mengingat jumlah penduduk di negara kita lebih banyak yang tersebar di desa dan merekalah yang disebut penduduk miskin. Mengingat angka kemiskinan yang selalu dialamatkan kepada para petani, mengapa tidak ada upaya memperbaiki nasib petani yang sekarang sebenarnya selalu berada sekarat dan diujung tanduk?
Inilah yang menjadi permenungan khusus bagi pemerintah bagaimana supaya nasib petani bisa berubah di negara kita. Kita sudah lama mempunyai konsep pemberdayaan petani dalam konsep agropolitan. Secara konsep sudah bagus, tetapi masalahnya tetap sama. Nasib petani tidak banyak yang berubah. Sebenarnya dimana akar persoalan petani sehingga bargainingnya selalu lemah dalam kebijakan negara ini? Apakah mereka hanya menjadi bagian dari eksploitasi saja tanpa bisa memetakan persoalan petani di negara agraris ini?
Sebagaimana yang dikatakan oleh Rachmat Pambudy dalam tulisannya di harian Suara Pembaruan ( 22 April 2010: Hati Nurani Untuk Petani) Diperkirakan beban seorang petani padi di Asia sekitar 3.000 jam kerja setiap tahunnya (Gladwell, 2009). Dalam buku Outliers, Gladwell menulis, tidak seorang pun yang bangun sebelum subuh selama 360 hari dalam setahun gagal membuat keluarganya kaya. Lalu, bagaimana petani kita? Meskipun telah memberi makan penduduk Indonesia dan bekerja sama kerasnya seperti saudaranya di Asia, mereka tetap saja miskin.
Mengapa demikian? Menurut Mohammad Yunus, pemenang Nobel Ekonomi (2006), mereka miskin karena tidak memperoleh hak sesungguhnya atas hasil kerjanya. Kemiskinan terjadi karena tidak diatasi dengan benar. Kemiskinan sering terjadi karena kita gagal menciptakan kerangka kerja teoretis, lembaga, dan kebijakan untuk mendukung kemampuan manusia. Mereka juga miskin karena tidak memiliki modal apa pun kecuali tenaganya.
Tidak ada yang memberi mereka akses tambahan modal, lahan, pengetahuan, kredit, dan pasar. Bung Hatta dan Bung Karno juga menyatakan hal senada soal kemiskinan. Kemiskinan yang masif jumlahnya besar dan sulit diatasi dalam suatu negeri yang kaya sumber alamnya hanya bisa terjadi karena kesalahan sistem ekonomi, politik, dan hukum (termasuk pembiaran korupsi).
Melembagakan Kemiskinan Petani
Apakah kita sudah berbuat banyak kepada para petani kita? Yang pasti belum. Bahkan ada upaya terselubung untuk melembagakan kemiskinan petani dengan tujuan kondisi petani jangan sampai berubah. Mereka terus mengalami eksploitasi secara tersistem. Coba kita lihat lagi, luasan lahan kecil dan kualitas sumber daya manusia (SDM) rendah tidak boleh dijadikan dalih untuk terus membiarkan petani miskin. Justru karena kondisi itulah negara Indonesia didirikan, pemerintahan dipilih, dan kementerian dibentuk. Meskipun mereka berlahan sempit, tetap harus hidup layak. Seperti diulas Gladwell, desa di China berpenduduk 1.500 orang bisa menghidupi dirinya dengan lahan seluas hanya 180 hektar (1.200 meter per kapita atau 0,3 hektar per keluarga, ekuivalen dengan lahan petani di Pulau Jawa: Data: Rachmat Pambudy: Suara Pembaruan).
Mengapa negara lain bisa memakmurkan petaninya? Petani makmur karena tugas petani dan keluarganya hanya bertani. Pemerintah membangun jalan raya dan jalan desa, menyediakan benih terbaik, pupuk dan pestisida/herbisida yang cocok, irigasi yang tidak pernah kering, kredit berbunga rendah, mesin pertanian yang murah dan bisa dicicil. Selain itu, pemerintah juga menjamin kegagalan panen dengan asuransi, harga jual yang menguntungkan dan membatasi pasar dalam negerinya dari produk asing.
Intinya, petani dan pertanian dilindungi dan tidak diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang sering tidak bisa dikendalikan. Bahkan, di negara tertentu, petani bisa menikmati rumah, listrik, air bersih murah, serta pendidikan terbaik yang benar-benar gratis dan dekat permukimannya. Ada keberpihakan, ada pembelaan, ada kebijakan, dan ada hati nurani untuk petaninya.
Hal itu dilakukan bukan karena pemerintah kasihan kepada para petaninya. Ketersediaan pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), bahan bakar (fuel), serta bahan obat yang berkesinambungan dari petani itu sangat penting untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) penduduk dan generasi mendatang. Dengan kebijakan yang tepat, kebutuhan pangan, sandang, papan, bahan bakar, dan obat-obatan dapat dihasilkan oleh petani dengan harga sangat bersaing.
Saat ini disadari atau tidak petani kurang diperhatikan. Nilai tukar petani kita cenderung makin turun. Hal ini disebabkan harga hasil pertanian serta perikanan primer, seperti padi, jagung, tebu, kedelai, singkong, telur, susu, ayam, tandan buah sawit, biji cokelat, teh, kopi, cengkeh, tembakau, sayur, buah, dan garam rendah (bahkan komoditas beras dan gula harganya dibuat rendah untuk menjaga inflasi). Harga hasil industri (minyak goreng, mi, tempe, tahu, kecap, pupuk, traktor, benih, pestisida, listrik, emas, sepeda motor, mobil, barang elektronik, solar, bensin, dan gas) dibiarkan berpatokan pada nilai dollar Amerika Serikat. Ketika rupiah melemah, harga hasil industri naik dan petani semakin miskin. Dibandingkan dengan tahun 1995 (saat nilai tukar rupiah Rp 1.800 per dollar AS), petani dan rakyat Indonesia tahun 2010 (nilai tukar rupiah Rp 9.000 per dollar AS) telah mengalami proses pemiskinan lima kali lipat.
Infrastruktur pertanian dan pedesaan (jalan, jembatan, pelabuhan, irigasi, listrik, dan telekomunikasi) yang buruk juga menjadi penyebab rendahnya daya saing petani. Hasil pertanian menjadi mahal dan tidak kompetitif. Demikian juga lembaga pembiayaan bank dan nonbank yang tidak efisien (bunga pinjaman lebih dari 15 persen, sementara bank di negara lain kurang dari 6 persen) harus dibiayai petani. Selain bunganya mahal, petani (40 persen dari penduduk Indonesia) sulit mendapat kredit (kurang dari 10 persen dari seluruh kredit yang disalurkan).
Inilah yang menjadi tantangan berat yang dialami oleh petani. Kalau pemerintah tidak punya niat dalam membangun pertanian dengan tetap memberdayakan para petani maka pemerintah sudah ikut melembagakan kemiskinan petani. Apakah ini disengaja atau tidak, entahlah. Tetapi satu hal, niat dalam memberdayakan petani agar keluar dari perangkap kemiskinan tidak pernah ada. Yang ada adalah upaya melembagakan kemiskinan petani. Dapat kita bayangkan andaikan dana BLBI Rp 600 Triliun itu digunakan untuk memberdayakan petani secara tepat, maka hasil pertanian kita sudah bagus dan akan mampu mendongkrak perekonomian secara nasional. Ini tidak petani tetapi termarginalkan dan bahkan terlembagakan tanpa pemerintah bisa berbuat apa-apa.***
Penulis adalah Advocat di Kota Medan/Alumni Pasca Hukum USU Medan. |