Garam dan Industri Garam Indonesia

Berawal dari pertanian di ladang-ladang garam secara tradisional, Industri Garam Indonesia terus berkembang, hingga saat ini menjadi salah satu bidang industri yang memberi penghidupan bagi banyak masyarakat di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingkat kebutuhan dan rangkaian kegiatan yang menyertai keberadaan garam.
Dari material awal, yaitu garam kasar (krosok), industri garam di Indonesia memproduksi berbagai jenis garam untuk memenuhi berbagai keperluan akan garam. Baik untuk kebutuhan rumah tangga, maupun kebutuhan industri, peternakan, dan pertanian.
Namun demikian, industri garam di Indonesia bukan berarti berjalan mulus tanpa hambatan dan kendala. Kualitas garam yang belum maksimal, ketidakstabilan harga garam, proses produksi yang masih bersifat tradisional, dan persaingan dengan komoditi garam dari luar negeri merupakan sedikit dari sekian banyak masalah garam di Indonesia. Hal inilah yang harus terus dibenahi dan disempurnakan hingga Industri Garam Indonesia mampu menjadi Pilihan Utama bagi seluruh lapisan masyarakat.

Garam Beryodium
Garam yang didalamnya terkandung senyawa Kalium Iodat (Garam Beryodium) merupakan salah satu nutrisi penting yang harus dikonsumsi secara teratur oleh manusia. Jumlah garam yang harus dikonsumsi per hari untuk setiap orang kurang lebih adalah 9 gram. Untuk masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, selain untuk memenuhi nutrisi tubuh konsumsi garam ditujukan juga untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan yodium.
Garam beryodium adalah garam konsumsi yang mengandung komponen utama Natrium Chlorida (NaCl) minimal 94,7%, air maksimal 5% dan Kalium Iodat (KIO3) sebanyak 30-80 ppm (mg/kg) serta senyawa-senyawa lain. Penyebaran garam beryodium pada masyarakat saat ini merupakan upaya pemerintah yang paling efektif dalam rangka penanggulangan masalah GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium). Garam merupakan salah satu bumbu masak yang hampir setiap makanan atau masakan membutuhkannya, sehingga dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Garam juga mudah untuk diperdagangkan oleh setiap pedagang atau pengecer dengan harga yang sangat terjangkau oleh masyarakat luas, baik oleh pedagang besar (seperti supermarket) atau pedagang kecil (seperti warung).
Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden RI No. 69 Tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994 tentang Pengadaan garam beryodium, maka telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995 tentang Persyaratan teknis pengolahan, pengawasan dan pelabelan garam beryodium, maka perlu dilakukan penjabaran lebih lanjut mencakup prinsip dasar proses produksi dan pengendalian mutu pengolahan garam serta tata cara perizinan. Sehingga dipandang perlu adanya petunjuk teknis sebagai pedoman dalam rangka pengadaan garam beryodium yang memenuhi syarat, yaitu antara lain :
1. Proses Produksi untuk memberikan gambaran tentang pembuatan garam beryodium dengan menitikberatkan pada pencucian, pengeringan/ penirisan, yodisasi dan pengemasan.
2. Sistem Pengendalian Mutu untuk memproduksi garam beryodium sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3556-1994.
3. Perizinan untuk menginformasikan kepada perusahaan garam beryodium maupun calon investor tentang cara memperoleh perizinan usaha industri.

Sortasi Bahan Baku
Adalah proses pemilihan bahan baku garam rakyat yang kondisinya tidak seragam, tergantung dari teknik pembuatannya. Dari lamanya proses penguapan/kristalisasi digolongkan menjadi garam muda dan garam tua. Garam muda adalah proses penguapan air laut pada meja-meja kristalisasi yang dilakukan secara total (hampir tidak ada sirkulasi air) dengan waktu yang relatif pendek, sehingga hanya diperoleh garam dengan kadar NaCl yang rendah dan mengandung kadar Ca dan Mg yang relatif tinggi serta cenderung kotor (impuritas tinggi). Sedangkan garam tua adalah garam yang diperoleh dengan proses pengkristalan yang memadai pada kondisi kepekatan antara 24ᄚ-25ᄚ Be (ᄚBe adalah derajat kepekatan suatu larutan yang dapat diukur dengan alat Hidrometer atau Baumeter). Secara bertahap sesuai dengan tingkat kepekatan larutan dan proses kristalisasi akan diperoleh:
” Garam Kualitas I, merupakan hasil proses kristalisasi pada larutan 24ᄚ- 29,5ᄚ Be dengan kadar NaCl minimal 97,1 %.
” Garam Kualitas II, merupakan sisa kristalisasi di atas pada kondisi kelarutan 29,5ᄚ-35ᄚ Be dengan kadar NaCl minimal 94,7%.
” Garam Kualitas III, merupakan sisa larutan kepekatan di atas pada kondisi >35ᄚ Be dengan kadar NaCl <94,7%. Pada kondisi ini akan diperoleh garam dengan kadar impuritas yang cukup tinggi sehingga garam menjadi kotor karena unsur-unsur ikutan seperti bromida, magnesium, kalium dan sulfat, pada larutan semakin sulit terpisahkan dari senyawa NaCl.
Dari sisi kinerja-nya ada berbagai tingkatan warna garam mulai dari warna putih transparan, putih dop dan putih kecoklatan yang dipengaruhi oleh kadar kotoran dan kadar impuritas. Kotoran pada garam menyebabkan menurunnya mutu garam yaitu rendahnya kadar NaCl, sehingga pada garam yang kotor perlu dilakukan pencucian untuk mendapatkan garam sesuai dengan persyaratan yang ditentukan sebagai bahan baku pembuatan garam konsumsi beryodium.
Catatan lapangan Garam Nasional dan penggunaannya untuk konsumsi dan industri
Berdasarkan informasi yang diperoleh selama kunjungan kerja ke Industri Garam di Surabaya pada tanggal 3 Juli 2004, yaitu kunjungan ke pabrik garam rakyat PD. Sumatraco dan pabrik pengolahan garam menjadi garam-meja PT. Susanti Megah, serta diskusi dengan Asosiasi (APROGAKOB), serta perusahaan yang berkaitan dengan impor garam untuk industri antara lain PT.Asahimas, PT. Unichem, PT. Sinarmas, PT. Indofood, PT. Tjiwi Kimia, PT. Alam Semesta Abadi, PT. Garindo, PT.Cheetam Indonesia, PT.Sucofindo, dll.; bersama ini disampaikan beberapa catatan penting untuk tindak lanjut berikutnya.
A. Perluasan Industri
Industri yang melakukan perluasan melebihi 30% dari kapasitas produksi yang diizinkan sesuai Izin Usaha Industri yang dimiliki, diwajibkan memperoleh Izin Perluasan. Untuk perusahaan Penanaman Modal Asing, Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan masa berlakunya diberikan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967, juga No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing serta peraturan pelaksanaannya, setelah mendapatkan rekomendasi persetujuan dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Izin Usaha Industri dan Perluasan bagi industri pengolahan garam beryodium diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Perindutrian dan Perdagangan setelah memiliki sertifikat SNI dan Surat Penunjukan dari Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan (IKAHH).
Indonesia telah memiliki 11 wilayah sentra produksi garam, yaitu Pati, Rembang, Demak (Jateng), Indramayu dan Cirebon (Jabar), Sampang, Pamekasan, Pasuruan (Jatim), Jeneponto (Sulsel), Bima (NTB), dan Kupang (NTT). Total Produksi garam nasional tahun 2000 mencapai 902.752 ton. Tahun 2002 produksi naik menjadi 1,2 juta ton. Namun, dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen merupakan garam kelas dua dan tiga, sedang sisanya merupakan garam industri (Selasa, 01 Juni 2004 | 19:20 WIB TEMPO Interaktif)
Industri garam nasional yang sebenarnya berasal dari garam rakyat tradisional (mutu rendah) yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi garam briket (untuk bahan pengawet dan keperluan industri), garam halus (garam meja) dan sangat halus (bahan baku hujan buatan) serta makin bersih dan baik kualitasnya (tinggi NaCl-nya dan rendah kadar airnya) tersebut; dihasilkan terutama di sentra-sentra garam yang terletak di :
” Barat : Cirebon
” Tengah : Pati, Rembang, Gresik dan Pulau Madura
” Timur : NTB (Bima), NTT dan Sulawesi Selatan (Jeneponto), yang pada saat ini hanya menghasilkan produksi rata-rata 1 juta ton / tahun.
Produksi garam rakyat ini hanya dapat diharapkan selama musim kering saja, yang berjalan secara efektif selama kurang-lebih 3-4 bulan saja selain 1,5 bulan sebelumnya untuk masa persiapan produksi; untuk keperluan sisa waktu dalam satu tahun, diperlukan adanya stok garam yang cukup banyak.
Belakangan ini, penggunaan garam sebagai konsumsi sangat kecil bila dibandingkan dengan penggunaannya sebagai bahan baku untuk pengolahan / industri (terutama untuk pabrik pulp dan industri yang membutuhkan banyak chlor dan soda). Penggunaan garam untuk industri secara nasional mencapai 1,9 – 2 juta ton / tahun, sedangkan untuk konsumsi hanya membutuhkan sekitar 0,8 juta ton / tahun; sehingga kebutuhan nasional akan garam mencapai 2,7 – 2,8 juta ton / tahun. Kekurangan supply garam (terutama untuk industri) tersebut dipenuhi dengan import garam (dari Australia) sebanyak 1,7 – 1,8 juta ton / tahun.
Menurut informasi Business News (10 Juli 2004), Indonesia telah mampu mengekspor garam ke Thailand, Malaysia, dan Taiwan sebanyak 5.700 ton dengan nilai sekitar Rp. 1 Milyar.
B. Permasalahan Industri Garam
Adanya bencana alam La-Nina pada tahun 1998/99, telah menyebabkan produksi garam nasional mengalami penurunan yang luar biasa dan menyebabkan kelangkaan garam sampai dengan tahun 2001. Selama itu, industri yang tadinya juga menggunakan bahan baku yang sebagian berasal dari garam rakyat telah terbiasa dengan garam import yang tinggi mutunya, sehingga saat supply pulih kembali masih enggan untuk menggunakan bahan baku yang berasal dari garam rakyat yang rendah mutunya (meskipun murah).
Adanya kelebihan produksi sekitar 0,2 juta ton / tahun (kebanyakan garam rakyat dipergunakan untuk konsumsi) tersebut menyebabkan petani garam mengeluh, karena industri enggan menerima garam rakyat. Hal ini yang menyebabkan diterbitkannya SK Menperindag no. 360/MPP/Kep/5/2004 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2004, yang mengatur tentang (1) kewajiban bagi industri yang mengimpor garam (importir terdaftar garam) untuk membeli 50% kebutuhannya dari garam lokal terlebih dahulu, (2) dilarang mengimpor garam pada masa tertentu (1 bulan sebelum panen, selama panen dan 2 bulan setelah panen garam rakyat), serta dilarang mengimpor garam bila harga garam rakyat terlalu rendah (dibawah Rp.145.000/ton untuk mutu K1, Rp.100.000/ton untuk K2, dan Rp.70.000 untuk K3).
Bagi industri pengguna garam besar diatas, terbitnya SK. No. 360/MPP/Kep/5/2004 (pengaturan tambahan dan serta-merta ini) dianggap berpotensi menghambat kelancaran produksinya, karena beberapa industri hanya mempunyai stok garam untuk keperluan 1-1,5 bulan ke depan saja (diperlukan waktu cukup lama untuk mengimpornya). Pada saat kejelasan tentang perusahaan mana dan bagaimana prosedurnya untuk dapat menjadi importir terdaftar garam tersebut belum ada, salah satu perusahaan (Susanti Megah) bahkan telah dipanggil polisi untuk dimintai keterangan karena pelanggaran, sementara SK no. 360 tersebut baru mulai berlaku sejak 1 Juli 2004.
Upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah garam rakyat yang diproduksi juga mengalami banyak kendala, antara lain : (1) makin buruknya mutu air laut sebagai bahan baku pembuatan garam, (2) makin sempit dan kecilnya petak-petak ladang garam karena kepemilikan per orang/penguasaan lahan yang terbatas, (3) bersaing dengan penggunaan lahan yang lebih produktif, (4) lamanya musim hujan dan tingginya curah hujan pada waktu tertentu, (5) makin tingginya biaya produksi di saat harga garam rakyat jatuh, dll.

C. Industri Garam di Negara lain
Pada saat ini, Australia, Mexico atau China dianggap sebagai negara produsen garam yang besar di dunia. Ladang garam Australia yang dikelola secara besar-besaran dapat menghasilkan sekitar 70 cm endapan garam dan hanya 50 cm bagian atas yang diambil, sehingga mutunya baik. Produksi ladang garam Australia seluas + 10.000 Ha dan mendapat sinar matahari yang lebih panjang / panas, dapat menghasilkan 1 juta ton / tahun. Namun sistem industri garam di China (dengan 4 musim dan dikelola dalam skala yang lebih kecil) mungkin lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.
D. Langkah Penyelesaian Masalah
Penyelesaian masalah garam secara nasional ini dapat dibagi dalam beberapa tahap, a.l. :
1. Jangka Pendek : Koordinasi pengaturan tata-niaga impor garam
2. Jangka Menengah dan Panjang : Penataan berbagai kebijakan untuk meningkatkan mutu dan jumlah produksi garam
Ad.1. Koordinasi pengaturan tata-niaga impor garam :
a. Perlu segera diinventarisasi jumlah kebutuhan garam dan jadwal pemenuhannya dari masing-masing industri yang penggunaan bahan baku garamnya besar.
b. Perlu diinventarisasi berapa besar stok garam yang kini dimiliki masing-masing industri tersebut.
c. Permasalahan dan Usulan pemecahan yang diajukan oleh Asosiasi (APROGAKOB).
Berdasarkan itu, diharapkan masalah ini telah dapat dibawa ke Departemen terkait kemudian jika belum dapat dipecahkan, maka diadakan rapat sidang terbatas bidang perekonomian dalam waktu tidak terlalu lama.
Ad.2. Penataan berbagai kebijakan untuk meningkatkan mutu dan jumlah produksi :
a. Untuk Proyek Garam Nasional, perlu dicari alternatif lahan-lahan yang lebih sesuai (relokasi) dengan industri garam rakyat (relatif luas lahannya, dekat dengan air laut yang sedikit pencemarannya, bertemperatur tinggi/kering dan banyak matahari); yang dikaitkan dengan Rencana Tata Ruang Nasional seperti halnya di Indonesia bagian Timur (NTT).
b. Menggalang kerjasama dengan Pemda di daerah tersebut (MOU dengan Pemda NTT perlu segera diwujudkan dalam bentuk kegiatan nyata)
c. Perlu adanya bantuan teknik (pembinaan) bagi Pemda dan masyaraat di daerah NTT tersebut, dalam proses produksi garam yang lebih efisien.
d. Bila saat ini usulan usaha yang diajukan dalam rangka kerjasama dengan Pemda NTT masih belum feasible (IRR vs Cost of Capital), mungkin perlu adanya perubahan asumsi bahwa produksi tersebut hanya untuk keperluan dalam negeri saja menjadi sebagian akan diekspor (kebutuhan Indonesia relatif kecil bila dibandingkan dengan China atau India di masa depan) melalui kerjasama pemasaran dengan Australia melalui Darwin ?.
e. Perlu meningkatkan nilai garam yang diprodusir kearah industri garam turunan yang bernilai tinggi

Catatan tambahan :
1. APROGAKOB dapat menunjukkan peran utama bagi anggota-anggotanya guna memberikan masukan yang dibutuhkan dalam perbaikan kebijakan Pemerintah.
2. Asosiasi tersebut juga perlu melakukan studi, ulasan, pelatihan dan peningkatan Riset/Pengembangan bagi kepentingan industri garam yang terkait.
3. Sebagaimana disebutkan diatas, perlu ditinjau potensi lokasi KTI bagi perluasan industri garam di Indonesia; mingingat Darwin (Australia) akan menjadi pusat perdagangan (seperti Singapura) untuk masa depan. Sehingga industri Garam Indonesia memiliki peluang akses ke pasar yang positif.
Sumber :
http://www.infogaram.com
” Catatan lapangan Asdep Menko Perekonomian
” Business News, 10 Juli 2004

Marhaban ya Ramadhan

Ramadhan Menjelang,  Ada …….kusaksikan satu persatu mereka yang telah KAU panggil tak dapat lagi berpuasa Ramadhan Kali ini.

Subhannallah….. begitu besar RahmahMU pada Hamba Mu ini…, Engkau beri aku kesempatan mendapatkan BulanMu yang penuh berkah, rahmat dan maghfirah.

SUBHANALLAH,  Begitu besar berkah Ramadhan yang Insyaallah engkau beri aku kesempatan untuk mendapatkannya.

Bulan yang paling mulia disisi MU, bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan dimana puasa menjadi suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu. Jam demi jamnya, menit demi menit adalah waktu paling utama. Bulan dimana HambaMU diundang menjadi tamuMU dan dimuliakan oleh-MU ya ALLAH.

Di bulan ini nafas-nafas hambamu menjadi tasbih, tidur kami ibadah, amal-amal diterima dan doa-doa kami diijabah. Ya ALLAH ya Rab…. luruskanlah dan kuatkan niat tulus ini dan bersihkanlah hati beku ini agar ENGKAU membimbing kami untuk melakukan shiyam, shollat dan qiyammullail, membaca KitabMU, Bersedekah kepada fuqara dan masakin, Mengasihani dan menyantuni anak-anak yatim, memuliakan orang tua kami, meyambung tali silahturahhim, menjaga lidah, menahan pandangan dan pendengaran dari apa yang tidak halal bagi kami memandangnya dan mendengarnya.

Ya Allah ya Rab ringankanlah punggung kami yang begitu berat oleh  beban dosa , agar kami mampu memperpanjang sujud menghatur taubah.

Mohon Maaf Lahir bathin Marhaban Ya Ramadhan, Marhaban Syahru Romdhon, Syahru Syiami, “Shahrul Maghfirah.

THE SILENCE CRISIS : Perlahan membunuh secara masal

Naiknya harga pangan akibat krisis global telah membuat satu dari dari enam orang di dunia menderita kelaparan. Kini lebih dari satu milyar orang di seluruh dunia mengalami kelaparan, 640 juta ada di wilayah Asia Pasifik.

Kekurangan pangan jelas akan membawa pada kondisi “kekurangan nutrisi yang membunuh” terutama terhadap anak-anak, karena menurunnya sistem kekebalan anak-anak.

Sangatlah berbahaya membiarkan dunia yang kelaparan. “Tanpa pangan, orang hanya memiliki tiga opsi. Rusuh, bermigrasi atau mati.

Diperlukan konsensus Global untuk menangani masalah ini, terutama dari negara-negara Industri . Industrialized nations have to provide more aid and open their markets to developing nations to have a chance at limiting increases in the number of people suffering from absolute poverty and hungery.

The China model

The China model

The Beijing consensus is to keep quiet

In the West people worry that developing countries want to copy “the China model”. Such talk makes people in China uncomfortable

May 6th 2010 | BEIJING | From The Economist print edition

CHINESE officials said the opening of the World Expo in Shanghai on April 30th would be simple and frugal. It wasn’t. The display of fireworks, laser beams, fountains and dancers rivalled the extravagance of Beijing’s Olympic ceremonies in 2008. The government’s urge to show off Chinese dynamism proved irresistible. For many, the razzmatazz lit up the China model for all the world to admire.

The multi-billion-dollar expo embodies this supposed model, which has won China many admirers in developing countries and beyond. A survey by the Pew Research Centre, an American polling organisation, found that 85% of Nigerians viewed China favourably last year (compared with 79% in 2008), as did 50% of Americans (up from 39% in 2008) and 26% of Japanese (up from 14%, see chart). China’s ability to organise the largest ever World Expo, including a massive upgrade to Shanghai’s infrastructure, with an apparent minimum of the bickering that plagues democracies, is part of what dazzles.

Scholars and officials in China itself, however, are divided over whether there is a China model (or “Beijing consensus” as it was dubbed in 2004 by Joshua Cooper Ramo, an American consultant, playing on the idea of a declining “Washington consensus”), and if so what the model is and whether it is wise to talk about it. The Communist Party is diffident about laying claim to any development model that other countries might copy. Official websites widely noted a report by a pro-Party newspaper in Hong Kong, Ta Kung Pao, calling the expo “a display platform for the China model”. But Chinese leaders avoid using the term and in public describe the expo in less China-centred language.

Not so China’s publishing industry, which in recent months has been cashing in on an upsurge of debate in China about the notion of a China model (one-party rule, an eclectic approach to free markets and a big role for state enterprise being among its commonly identified ingredients). In November a prominent Party-run publisher produced a 630-page tome titled “China Model: A New Development Model from the Sixty Years of the People’s Republic”. In January came the more modest “China Model: Experiences and Difficulties”. Another China-model book was launched in April and debated at an expo-related forum in Shanghai. Its enthusiastic authors include Zhao Qizheng, a former top Party propaganda official, and John Naisbitt, an American futurologist.

Western publishers have been no less enthused by China’s continued rapid growth. The most recent entry in the field is “The Beijing Consensus, How China’s Authoritarian Model Will Dominate the Twenty-First Century” by Stefan Halper, an American academic. Mr Halper, who has served as an official in various Republican administrations, argues that “just as globalisation is shrinking the world, China is shrinking the West” by quietly limiting the projection of its values.

But despite China’s status as “the world’s largest billboard advertisement for the new alternative” of going capitalist and staying autocratic, Party leaders are, as Mr Halper describes it, gripped by a fear of losing control and of China descending into chaos. It is this fear, he says, that is a driving force behind China’s worrying external behaviour. Party rule, the argument runs, depends on economic growth, which in turn depends on resources supplied by unsavoury countries. Politicians in Africa in fact rarely talk about following a “Beijing consensus”. But they love the flow of aid from China that comes without Western lectures about governance and human rights.

The same fear makes Chinese leaders reluctant to wax lyrical about a China model. They are acutely aware of American sensitivity to any talk suggesting the emergence of a rival power and ideology—and conflict with America could wreck China’s economic growth.

In 2003 Chinese officials began talking of the country’s “peaceful rise”, only to drop the term a few months later amid worries that even the word “rise” would upset the flighty Americans. Zhao Qizheng, the former propaganda official, writes that he prefers “China case” to “China model”. Li Junru, a senior Party theorist, said in December that talk of a China model was “very dangerous” because complacency might set in that would sap enthusiasm for further reforms.

Some Chinese lament that this is already happening. Political reform, which the late architect of China’s developmental model, Deng Xiaoping, once argued was essential for economic liberalisation, has barely progressed since he crushed the Tiananmen Square protests in 1989. Liu Yawei of the Carter Centre, an American human-rights group wrote last month that efforts by Chinese scholars to promote the idea of a China model have become “so intense and effective” that political reform has been “swept aside”.

Chinese leaders’ fear of chaos suggests they themselves are not convinced that they have found the right path. Talk of a model is made all the harder by the stability-threatening problems that breakneck growth engenders, from environmental destruction to rampant corruption and a growing gap between rich and poor. One of China’s more outspoken media organisations, Caixin, this week published an article by Joseph Nye, an American academic. In it Mr Nye writes of the risks posed by China’s uncertain political trajectory. “Generations change, power often creates hubris and appetites sometimes grow with eating,” he says.

One Western diplomat, using the term made famous by Mr Nye, describes the expo as a “competition between soft powers”. But if China’s soft power is in the ascendant and America’s declining—as many Chinese commentators write—the event, which is due to end on October 31st, hardly shows it. True, China succeeded in persuading a record number of countries to take part. But visitor turnout has been far lower than organisers had anticipated. And queues outside America’s dour pavilion have been among the longest.

APAKAH KITA PUNYA MODAL SOSIAL?

Dec, 04- 2007.

Diskusi mengenai modal sosial beberapa hari lalu telah begitu mengusik saya untuk terus memikirkan apa yang disampaikan Putnam dan kemudian membandingkannya dengan fenomena yang terjadi disekeliling kita di Republik ini.
Dalam rumusan Robert D. Putnam, modal sosial menunjuk pada ciri-ciri organisasi sosial yang berbentuk jaringan-jaringan horisontal yang di dalamnya berisi norma-norma yang memfasilitasi koordinasi, kerja sama, dan saling mengendalikan yang manfaatnya bisa dirasakan bersama anggota organisasi. Dalam prespektif ekonomi, jaringan horisontal yang terkoordinasi dan kooperatif itu akan berkontribusi pada kemakmuran dan pada gilirannya jaringan horisontal yang diperkuat oleh kemakmuran tersebut.
Modal sosial dalam bentuk asosiasi-asosiasi horisontal ini misalnya mempunyai peranan sangat berperan penting dalam mendukung kemajuan ekonomi pada komunitas Cina perantauan (overseas Chinese) melalui apa yang disebut dengan network capitalism. Organisasi informal Cina perantauan di Asia Tenggara, misalnya di Singapura dan Malaysia, mendorong pada kemampuan kompetitif mereka dalam kegiatan bisnis. Keunggulan bersaing tersebut bukan hanya karena mereka memiliki bakat kewiraswastaan, tapi juga berasal dari perkumpulan dan lembaga dagangnya. Pendirian perkumpulan satu dialek bahasa dan jaringan keluarganya, siang hwee (kamar dagang), memungkinkan mereka bisa saling membantu dan mempercayai satu sama lain dalam transaksi ekonomi modern tanpa harus melalui lembaga ekonomi formal yang birokratis.
Kemudian sekitar 12 tahun lalu, seorang pemikir dan futuris bernama Francis Fukuyama melansir sebuah buku yang sempat menjadi pembicaraan luas di seluruh dunia, berjudul “Trust” (1995). Salah satu bagian penting dari buku itu mengupas tentang apa yang disebutnya sebagai “social capital” atau modal sosial. Fukuyama mendefinisikan modal sosial sebagai norma informal yang dapat mendorong kerjasama antar anggota masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, modal sosial akan tampak dari suasana saling percaya antar warga masyarakat. Ada hubungan erat antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat atau bangsa. Negara atau bangsa yang tingkat kesejahteraannya tinggi adalah bangsa yang memiliki modal sosial tinggi. Argumennya, rasa saling percaya antar warga masyarakat dan kemauan untuk bekerjasama menyebabkan ”biaya transaksi” dan ”biaya kontrol” menjadi rendah, dan hasilnya adalah kehidupan yang lebih efisien dan produktif. Dengan demikian, sumber daya yang ada, dapat dioptimalkan untuk melakukan kegiatan yang membangun nilai tambah bagi kehidupan masyarakatnya. Melalui kegiatan yang membangun nilai tambah inilah maka multiplier effects bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dapat terwujud.
Sebaliknya, dalam tatanan masyarakat yang rasa saling percayanya rendah, diperlukan perangkat kontrol yang berlapis-lapis. Anggota masyarakat sibuk memperjuangkan kepentingan diri, sementara ruang untuk saling memberi sangat sempit. Proses kreatif untuk menemukan cara-cara baru dalam menjalankan kehidupan terhambat, karena setiap inisiatif akan disikapi dengan curiga, bahkan antipati. Sumber daya dan energi yang dimiliki masyarakat dan negara banyak dihabiskan untuk kegiatan yang tidak menghasilkan nilai tambah. Kehidupan keseluruhan menjadi sulit, boros, dan membebani warga. Masyarakat yang seperti ini sulit untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmurannya.
Secara tegas para pakar meletakkan konsep modal sosial tersebut secara preskriptif. Interpretasinya begini, masyarakat yang tidak memiliki atau lemah modal sosialnya tidak akan tertib, disiplin, bertanggung jawab, demokratis, dan kondisi ekonominya miskin. Masyarakat yang tidak punya jaringan horisontal yang dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi tidak mungkin memperoleh keuntungan yang sama di antara para warganya. Sebaliknya, yang akan muncul adalah ketimpangan sosial-ekonomi dan ini akan menyulitkan untuk bisa menjadi masyarakat yang kompetitif. Kepemilikan modal sosial dianggap sebagai keharusan, imperatif, mesti dipunyai oleh masyarakat yang ingin demokratis dan ekonominya berkembang.
Sekarang coba kita bandingkan apa yang disampaikan Fukuyama ini dengan apa yang terjadi disekeliling kita saat ini. Kondisi atau keadaan lalu lintas sehari-hari misalnya, seperti kutipan dari Harian Pikiran Rakyat berikut dapat kita gunakan untuk secara sederhana mendeskripsi fenomena sekeliling kita guna mengawali analisa kita tentang dimana sebenarnya posisi modal sosial kita.

BILA kita lihat keadaan lalu lintas sehari-hari, tampak semrawut, jauh dari keteraturan! Semua pemakai jalan, apakah itu pejalan kaki, pemakai kendaraan pribadi, pengamen jalanan dan pengemis, pedagang kaki lima, pedagang asongan, penarik becak, kendaraan umum, pemakai sepeda, semuanya berperilaku mirip, semaunya sendiri. Tidak mengindahkan aturan berlalu lintas yang baik dan benar. Masing-masing memanifestasikan keegoisannya, tak mau peduli satu sama lain. Sudah dapat kita terka, kemacetan pasti terjadi!
Sumber kemacetan itu, ironisnya, bukan cuma di depan pasar tumpah, pusat perbelanjaan, mal, tetapi juga di jalan-jalan di depan gedung-gedung sekolah. Padahal, selain tempat untuk mengisi dan mengasah otak untuk menambah wawasan pengetahuan dan kemampuan analisis, lembaga pendidikan itu juga merupakan wahana yang mengajarkan dan mendidik tentang kedisiplinan. Namun yang tampak di situ malah ketidaktertiban. Para siswa, mahasiswa, guru, dan dosen atau pengajar, seenaknya sendiri dalam menggunakan jalan. Kemacetan itu berlangsung di sekolah-sekolah yang dikenal favorit, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, seolah-olah depan sekolah-sekolah favorit itu identik dengan ketidaktertiban lalu lintas. Ternyata mereka yang kita kategorikan sebagai kaum terpelajar sama saja dengan warga masyarakat lainnya, tidak mau peduli, egois, serta jauh dari menunjukkan sikap yang berdisiplin.
Sesungguhnya, ketidaktertiban itu tidak hanya tampak di jalan-jalan raya. Dalam kegiatan keseharian di instansi-instansi pemerintah pun, yang mestinya sebagai institusi publik mengelola hidup bermasyarakat dan bernegara agar tidak “kacau”, malah dirinya sendiri menunjukkan ketidakteraturan. Banyak di antara pegawai di waktu jam kerja yang mengobrol, membaca koran, jalan-jalan dari satu ruangan ke ruangan lain untuk mencari teman ngobrol, dan bahkan ada juga yang melamun. Di siang hari banyak aparatur dengan seragam khasnya jalan-jalan ke tempat-tempat perbelanjaan atau duduk ngobrol di cafe atau kantin, sementara warga masyarakat yang memerlukan penyelesaian perizinan bagi keperluan mengembangkan usaha, membangun rumah, melanjutkan sekolah, dan mencari pekerjaan dibiarkan menunggu. Sumber: Pikiran Rakyat 22 Februari 2005

Secarik kasus keseharian komponen Bangsa di Republik ini memperlihatkan ketidaktertiban, ketidakdisiplinan, dan ketiadaan tanggung jawab warga masyarakat sebagai warga negara dan instutisi/lembaga pemerintah sebagai lembaga pelayanan publik. Banyak lagi fenomena bangsa yang memperlihatkan bagaimana para warga masyarakat, lebih memilih untuk mengabaikan peraturan-peraturan bahkan tidak memiliki nurani sedikit pun ketika melakukan pelanggaran aturan-aturan tersebut. Para elite, pemimpin formal dan informal, yang posisi mereka cukup penting dalam masyarakat ternyata juga tidak memberikan contoh yang benar, sedangkan kita adalah bangsa paternalistik yang sangat kental relasi patron-klien.
Ketiadaan tertib, hukum yang tidak tegak, serta kerapnya penyelesaian masalah secara reaktif yang biasanya diikuti oleh kekerasan, jika meminjam sindiran Robert Hefner, adalah cermin keseharian dari “bangsa yang tak beradab”. Apakah memang kita tidak memiliki keadaban, egoistis, sering bertindak represif, enggan menghargai orang lain sebagai sesama, dan tidak mau dan mampu berkoordinasi? Apakah dengan tidak adanya konsensus dan kerja sama dalam menegakkan ketertiban, berarti negara-bangsa Indonesia kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki modal sosial (social capital)?
Banyak lagi fakta keseharian yang bisa kita tampilkan….…. silahkan rekan2 analisa dan simpulkan sendiri, apakah kita Bangsa yang punya Modal Sosial Kuat atau atau sama sekali tidak punya modal sosial.
Saya berfikir, mungkin ada satu kategori lagi yang luput atau belum tergali baik oleh Putnam maupun Fukuyama, ….. yaitu Mungkin saja kita ini Bangsa Munafik yang selalu beretorika dan mengumbar bahwa kita punya dan kaya akan berbagai values sebagai dasar “social capital” seperti kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat, dll.

RAJ
Yang gundah …..bagaimana kita nanti,
ataukah memang tak akan ada lagi nanti bagi kita

Diposkan oleh rozy di 22:15

Filosofi Al-Ma’un: Keimanan berkaitan dengan Realitas Sosial

Membumikan Pesan Surat Al-Ma’un; Menegakkan Agama

28-August-2007

Buletin No. 190

Oleh Deny Suito

http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A4698_0_3_0_M

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna (al-mâ’un),” (QS Al-Ma’un [107]: 1-7)

Bagi sebagian aktifis Islam, menegakkan agama identik dengan peperangan melawan orang-orang kafir. Sehingga beragam penuh dengan konflik, permusuhan, dan pertumpahan darah. Padahal menegakkan agama dapat dimulai dari penerapan agama Islam dari diri sendiri, keluarga, dan memerhatikan masyarakat sekitar. Shalat, puasa, haji, dan mengentaskan umat Islam dari kemiskinan dan kebodohan merupakan ajang dalam penegakan agama. Salah satu upaya menegakkan agama dalam hidup bermasyarakat adalah dengan membumikan pesan surat al-Ma’un.

Dalam surat ini Allah berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna (al-mâ’un),” (QS Al-Ma’un [107]: 1-7).

Perhatian Islam terhadap Kaum Papa

Islam memberikan perhatian yang mendalam terhadap orang-orang lemah, yaitu mereka yang miskin dan tertindas. Menurut Islam, beriman dan berislam tidak sempurna jika tidak diikuti oleh pemberian dan bantuan terhadap orang yang membutuhkan pertolongan. Dalam surat al-Ma’un dengan tegas Allah menyatakan bahwa orang yang mempunyai kelebihan harta tapi tidak membantu orang yang membutuhkan pertolongan disebut sebagai pendusta agama.

Terdapat beragam pendapat sekitar makna kata “al-mâ’un” yang terdapat dalam ayat tujuh. Qurthubi dalam kitab tafsirnya “al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân,” menyebutkan ada 12 makna yang dinisbatkan para ulama atas kata “al-mâ’un”. Di antaranya adalah zakat harta, harta, barang yang berguna bagi kebutuhan rumah tangga, setiap barang yang ada manfaatnya, barang yang lazim dipergunakan oleh masyarakat untuk saling memberi, air, melarang kebaikan, dan lain sebagainya.

Isi surat al-Ma’un ini membicarakan beberapa sifat manusia yang dipandang sebagai mendustakan agama dan ancaman terhadap orang-orang yang melakukan shalat dengan lalai dan riya. Pesan mengemuka dalam surat al-Ma’un ini berbeda secara diametral dengan surat setelahnya, yaitu surat al-Kautsar. Surat al-Kautsar membicarakan sifat-sifat yang mulia dan perintah untuk mengerjakannya.

Surat al-Mau’un secara tegas menyatakan bahwa mereka yang menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, dan enggan mengeluarkan barang berguna untuk membantu mereka yang membutuhkan, termasuk orang yang mendustakan agama. Termasuk juga orang mendustakan agama adalah orang yang melalaikan shalat atau shalat karena riya’. Meskipun ulama berbeda pendapat seputar makna “al-Mâ’un”, yang harus diinsyafi adalah kategorisasi tentang sifat-sifat orang yang mendustakan agama yang terdapat dalam surat ini.

Cukuplah kiranya surat al-ma’un ini menyadarkan kita bahwa beriman dan berislam tidak sempurna jika kita tidak mempedulikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin di sekitar kita. Kita harus membuang jauh-jauh anggapan bahwa keimanan terpisah dengan realitas sosial.

Belajar dari KH. Ahmad Dahlan

Al-Quran adalah kitab petunjuk untuk meraih kebahagian di dunia dan akhirat. Karena itu, petunjuk Al-Quran harus diamalkan, tidak hanya dipahami dan dimengerti saja. Hanya itulah jalan satu-satunya meraih kebahagian dunia dan akhirat. Sayangnya, banyak dari umat Islam yang hanya membaca Al-Quran, tapi tidak memahami maknanya, apalagi mengamalkan pesannya.

Al-Quran dibaca sekedar untuk meraih pahala disisi-Nya tanpa diiringi usaha memahami maknanya untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut KH. Ahmad Dahlan —pendiri Muhammadiyah, dalam mempelajari Al-Quran, umat Islam tidak boleh beranjak kepada ayat berikutnya sampai ia benar-benar paham arti dan tafsirnya serta dapat mengimplementasikan pesan ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Ada cerita yang cukup terkenal di kalangan Muhammadiyah dan sering diceritakan ulang, berkenaan dengan cara KH. Ahmad Dahlan mengajarkan surah surat al-Ma’un kepada para murid-muridnya. Diceritakan bahwa KH. Ahmad Dahlan berulang-ulang mengajarkan surat al-Ma’un dalam jangka waktu yang lama dan tidak mau beranjak kepada ayat berikutnya, meskipun murid-muridnya sudah mulai bosan.

Dihimpit oleh rasa bosan karena KH. Ahmad Dahlan terus-menerus mengajarkan surat al-Mau’un, akhirnya salah seorang muridnya, H. Syuja’, bertanya mengapa Kiyai Dahlan yang tidak mau beranjak untuk mempelajari pelajaran selanjutnya. Lantas Kiyai Dahlan balik bertanya, “Apakah kamu benar-benar memahami surat ini?” H. Syuja’ menjawab bahwa ia dan teman-temannya sudah paham betul arti surat tersebut dan menghafalnya di luar kepala. Kemudian Kiyai Dahlan bertanya lagi, “Apakah kamu sudah mengamalkannya?” jawab H. Syuja’, “Bukankah kami membaca surat ini berulang kali dalam sewaktu salat?”

Kiyai Dahlan lalu menjelaskan bahwa maksud mengamalkan surat al-Ma’un bukan menghafal atau membaca, tapi lebih penting dari itu semua, adalah melaksanakan pesan surat al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. “Oleh karena itu’, lanjut Kiyai Dahlan, “setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.” (dikutip dari buku “Teologi Pembaharuan” karya Dr. Fauzan Saleh). Cerita Kiyai Ahmad Dahlan di atas menggambarkan bagaimana seharusnya ayat-ayat Al-Quran dipelajari, yakni tidak beranjak ke ayat lain sebelum memahami dan mengamalkan isi pesan ayat tersebut.

Saat ini, negeri kita belum bisa terbebas dari jeratan kemiskinan. Maka membumikan pesan al-Ma’un, yaitu mencurahkan perhatian pada anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan membantu mereka, adalah sebuah keniscayaan. Ini penting bagi kita, bukan hanya agar kita tidak menjadi kaum pendusta agama, tapi juga sebagai langkah awal untuk mengakhiri penderitaan mereka yang tidur dalam keadaan perut lapar, kedinginan di bawah kolong-kolong jembatan, dan anak-anak balita yang busung lapar.

Banyak pakar menilai bahwa maraknya aksi kekerasan dan terorisme di negeri ini disebabkan karena penduduk negeri ini berada dalam lingkaran kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan seseorang atau kelompok gampang frustasi, berpikir pendek, dan cepat putus asa sehingga mereka gampang dijebak untuk melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme. Bahkan negeri ini tidak akan pernah terbebas dari aksi-aksi kekerasan selama kemiskinan masih menjerat penduduk negeri ini.

Karena itu, marilah kita tegakkan agama dengan membumikan pesan al-Ma’un dalam keseharian kita guna meringankan penderitaan orang-orang miskin di sekitar kita dan agar mereka merasa ada yang memperhatikan serta peduli terhadap mereka. Bantuan dan perhatian yang kita berikan, sedikit banyak pasti akan membantu mengentaskan kemiskinan di negeri ini. Jika kemiskinan telah berlalu dari negeri ini, maka negeri ini tidak akan menjadi ladang subur bagi persemaian benih-benih terorisme.

Wallahu a’lamu bis shawab

ELNIN0 dan BERKAH PANEN GARAM MUSIM INI

ELNINO dan BERKAH PANEN GARAM MUSIM INI

Jika banyak orang khawatir kemarau berkepanjangan karena Elnino kali ini, nampaknya para petani di Bima malah menganggap hal itu adalah berkah.Setidaknya kesan itu yang muncul dalam kunjungan 5 hari selama pertengahan Ramadhan lalu.

Kunjungan Ke Bima 5 hari (4-9- Sept 2009) kali itu menjadi lebih riang dan bersemangat, walau sedang berpuasa dibawah sengatan terik matahari dan udara ladang garam Bima. Pasalnya banyak ketemui wajah-wajah Sumringah Petani Garam. Sejak pertama bertemu dengan Pak Isnaeni, fasilitator kami yang menginformasikan harga tingkat petani masih bertahan Rp. 7500/Karung, ALHAMDULLILAH ucap spontan terlontar, bandingan dengan tahun lalu yg paling tinggi hanya Rp.3500/karung…tiga ribu lima ratus perkarung ukuran 60 Kg!!! Coba bayangkan bisa dapat apa petani dgn uang segitu

Kini para petani, sdh makin jeli melihat pasar, tdk terjebak monopsoni satu pemain yang menguasai Bima selama ini, mereka telah menemukan alternatif2 distributor lain terutama di Pulau Lombok, sehingga kompetisi Pricing bisa lebih alami. Lalu kemudian kulihat semangat membara Pak Bakar, operator mesin yodisasi kami yang tak lelah bekerja menerima permintaan para petani untuk Yodisasi. Alhamdullilah ya Allah, Rp. 7.500 berkah ramadhan yang membuat mereka bisa berhari raya. Kesadaran petani utk melakukan Yodisasi – bahwa garam untuk konsumsi manusia dan hewan itu wajib beryodium- semakin meningkat seiring dengan penegakan peraturan pelarangan distribusi garam non yodium di Bima.

Jika kondisinya seperti ini petani memang berharap hujan jangan dulu datang, agar produksi garam terus bisa digenjot, namun kalaupun musim penghujan pun datang petani pasti memperoleh berkah dengan kenaikan harga garam, jadi sekarang alam akan menentukan manfaat kuantitatif ataukah kualitatif yang dapat diraih petani, keduanya adalah berkah…ALHAMDULILAH.

Jika benar Elnino itu datang dan membuat makin berat hidup banyak orang namun paling tidak ia juga juga mempunyai sisi postitif, berkah bagi petani ladang garam…InsyAllah. Memang Allah Al- Ad, Maha Adil

FENOMENA GUNUNG ES GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM

Sekitar 2 milyar orang didunia mengalami kekurangan asupan yodium,terutama penduduk Asia selatan dan Sub-Sahara Africa. Kekurangan asupan yodium dapat mengakibatkan dampak yang sangat buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini adalah akibat dari produksi hormon thyroid yang tidak memadai yang dinamakan Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) atau Iodine deficiency disorder (IDD).

Fenomena GAKY merupakan fenomena gunung es karena ia adalah penyebab utama dari perusakan atau pelemahan mental/otak didunia.

Selama ini GAKY dianggap hanya mengakibatkan “Cretinism” atau keterbelakangan pertumbuhan fisik seperti Cebol atau kuntet. Ataupun anggapan yang paling umum GAKY hanya akan mengakibatkan Goiter (Gondok)

Lebih berbahaya dan paling mengkhawatirkan, GAKY dapat mengakibatkan keterbelakangan mental atau penurunan performa intelektual dan jika dibiarkan akan membuat kita “kehilangan generasi” (lost generation).

Continue reading “FENOMENA GUNUNG ES GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM”